Kali ini , cerita yang ku alami terjadi pada saat aku berusia 14 tahun. dan waktu itu aku masih duduk di kelas 3 smp. Ayahku berusia 57 tahun dan Ibu 32 tahun. Jabatan Ayah lumayan tinggi, sehingga mampu menghidupi dua keluarga. Berhubung Tante donna tidak menikah lagi, maka kehidupan keluarga mereka ditanggung sepenuhnya oleh Ayahku juga. Namun tetap saja, Ayahku seringkali dinas luar kota, yang menyebabkan kesehatannya terganggu. Ayah telah beberapa tahun divonis terkena penyakit komplikasi gula dan jantung. Ini juga alasan terjadi sesuatu pengalaman unik di keluargaku.
Kisah ini dimulai pada suatu hari yang cerah di rumahku. Saat itu menjelang sore. Aku sedang asyik menonton tv ketika Ayah masuk ruang keluarga dan berbicara padaku.
“ri. Ayah mau ngomong.” katanya.
Aku mematikan tv dan duduk menghadap Ayah. Dari tampangnya aku tahu bahwa ia ingin menyampaikan sesuatu yang serius.
“ada apa, yah? Kok serius banget?” tanyaku dengan heran.
Ayahku kemudian duduk di sampingku, dan dengan wajah serius ia berkata,
“begini, ri. Kamu ingat nggak sekitar dua tahun lalu Ibumu jatuh dari motor ketika pulang belanja naik ojek?”
“eri masih ingat, yah. Kenapa?”
“kamu tentu juga masih ingat bahwa untuk setahun, Ibumu memakai korset kesehatan penahan tulang punggungnya?”
“iya, Ayah. Eri masih ingat.”
“nah, kamu juga pasti masih ingat, bahwa setelah setahun itu lewat, Ibumu masih harus terapi ke dokter.”
Aku mengangguk. Bulan-bulan pertama Ibu berkali-kali ke dokter. Namun akhir-akhir ini, jarang sekali Ibu pergi ke dokter.
“nah, dokter melakukan terapi pijat di punggung Ibumu selama setengah tahun. Lalu setelah itu, dokter merasakan bahwa terapi itu tidak perlu lagi dilakukan olehnya. Tetapi, ia menyarankan agar seminggu sekali Ayah memijat punggung Ibumu. Sekarang sudah tiga bulan berjalan, seperti kamu tahu, Ayah seringkali harus pergi ke luar kota, jadi, terapi pijat itu tidak selalu dilakukan seminggu sekali, berhubung Ayah tidak ada di rumah.”
Aku hanya mengangguk, namun aku masih belum dapat menebak arah pembicaraan Ayah. Maka aku hanya terdiam menunggu penjelasan lebih lanjut.
“nah,” kata Ayah lagi,”setelah berembuk dengan Ibumu, kami memutuskan agar untuk sekarang, terapi ini harus tetap dilakukan seminggu sekali. Berhubung Ayah tidak dapat terus-menerus melakukannya, maka sebaiknya mulai sekarang eri yang melakukan terapi itu kepada Ibu.”
“tapi Ayah,” jawabku,” eri tidak pernah memijat punggung orang. Apalagi pijat terapi segala. Kalau salah gimana?”
“tenang saja, ri. Untuk permulaannya, Ayah akan mengajari kamu. Kalau kamu sudah bisa, tentu sudah bisa dilepas. Tapi sebaiknya kamu mempelajarinya secara cepat, karena dalam tiga hari, Ayah harus pergi ke luar kota lagi.”
Aku hanya mengangguk. Berbagai pikiran melintas di otakku. Tiba-tiba saja aku jadi ingat Ibu. Usia Ibu 32 tahun, belum terlalu tua. Selain itu, Ibu memiliki badan yang ramping semampai. Dadanya tidak terlalu besar, ukurannya sedang saja, tetapi bila ia memakai kaos, akan terlihat gundukan mancung yang membuat laki-laki berandai-andai, apakah bentuk asli payudara Ibu. Kulitnya yang putih dan wajah yang cantik bahkan membuat Ibu terkadang juga menjadi obyek fantasiku. Entah kenapa aku tidak dapat menahan diri sehingga saat itu aku mengalami ereksi hanya dengan memikirkan tentang Ibu.
“bagaimana?” tanya Ayah.”kamu mau menolong Ibumu?”
Aku mengangkat bahu dan mengangguk, untuk menunjukkan bahwa seakan-akan aku agak malas melakukannya, tetapi aku menunjukkan bahwa aku bersedia. Ayah tersenyum. Katanya,
“kalau begitu ayo ke kamar Ayah, Ibumu sudah menunggu di sana.”
Dengan dada berdebar aku mengikuti Ayahku masuk ke kamarnya. Ketika aku sampai di kamar Ayah, aku mendapati Ibu telah tiduran telungkup di tempat tidur pijat yang bisa dilipat yang telah dibeli oleh Ayah ketika ia harus memijat Ibu untuk terapi. Aku kaget ketika melihat bahwa daster kuning Ibu sudah dIbuka dan kini bagian atasnya telah ditarik ke bawah sehingga berjumbel di pinggangnya. Punggung Ibu telanjang, namun aku melihat bh putih Ibu tidak dIbuka seluruhnya, melainkan hanya bagian belakang dIbuka kaitnya, sehingga aku tidak dapat melihat gundukan pinggir payudara Ibu, selain karena masih ada bh, juga karena tangan Ibu rapat di kedua sisi tubuhnya.
Namun, melihat punggung Ibu yang putih dan mulus sontak membuat kontolku perlahan menegang. Ayahku lalu menyuruh aku berdiri di samping Ibu. Tempat tidur lipat itu lebih rendah dari selangkanganku, sehingga Ayahku dapat melihat gundukkan kemaluanku yang menonjol. Tetapi, Ayah sepertinya tidak memperhatikan, sehingga lama kelamaan aku menjadi sedikit lebih santai.
Ayah berdiri di sisi kiri Ibu, sementara aku di sisi kanan. Ia mengambil lotion lalu mulai berbicara mengajarkan aku cara memijat Ibu. Aku berusaha memperhatikan dan mendengarkan pengajaran Ayah, walaupun seringkali pikiranku teralihkan melihat punggung putih Ibu yang sedang dipijit itu. Apalagi setelah diberi lotion yang menyebabkan kulit Ibu tampak begitu mengkilat.
Setelah sekitar lima menit yang penuh siksaan birahi bagiku, tiba-tiba Ayah berhenti, lalu berkata,
“sekarang kamu coba pijat Ibu, ri.”
Aku meneguk ludah lalu memberanikan diri memegang punggung Ibu. Kulit Ibu begitu halus dan licin. Aku mulai memijat punggung Ibu, perlahan-lahan namun dengan sedikit menekan, seperti yang kulihat Ayah lakukan sebelumnya. Pijatan yang dilakukan Ayah lebih mirip pijat siatshu di mana penggunaan telapak tangan yang membuka lebih sering diterapkan, berbeda dengan pijitan ala indonesia yang lebih mengutamakan kekuatan jari. Aku menikmati tiap detik kehalusan punggung Ibu yang aku pijit dengan telapakku. Kontolku sekarang sudah mengeras secara maksimal. Terkadang aku lirik Ayahku, dan kulihat ia tersenyum dan kedua matanya terus memperhatikan kedua telapak tanganku yang sedang memijat isterinya.
“ingat ya, ri. Pijatnya harus sekitar setengah jam. Lebih juga boleh. Tapi kamu jangan memaksakan diri kalau pegal.”
Aku mengangguk namun terus konsentrasi, berusaha menikmati tiap usapan dan pijatanku di punggung wanita yang seksi di depanku ini. Lalu Ayah berkata bahwa ia akan keluar dari kamar untuk melakukan sesuatu (aku tidak terlalu konsen mendengar perkataannya), dan ia akan kembali sekitar setengah jam lagi.
Aku sedang asyik memijat punggung Ibu sekitar sepuluh menit, ketika Ibu berkata,
“jangan terlalu keras, sakit.”
Aku mengurangi sedikit tekananku, namun Ibu tetap berkata aku terlalu keras. Beberapa kali aku mengendurkan tekanan telapakku, hingga akhirnya Ibu bilang bahwa pijatannya sudah pas. Aku amat senang dengan perkembangan ini, karena kini aku bukan memijat, melainkan lebih mengelus-elus punggung Ibu. Ibupun tampak beberapa kali menggumam, tampaknya ia menikmati elusan tanganku. Sementara, aku mulai panas dingin, karena aku tidak dapat melampiaskan nafsu di selangkanganku. Ingin sekali aku masturbasi di situ. Kegiatan ini selain membuatku senang karena bisa mengelus Ibu, tapi di lain pihak membuatku sebal karena libidoku tertahan.
Ketika setengah jam berlalu, kudengar pintu terbuka, entah kenapa aku menjadi takut dan kembali menekan punggung Ibuku agak keras, sesuai dengan cara Ayahku sebelumnya. Ayahku melihatku masih memijat Ibu lalu berkata,
“oke. Sudah cukup. Bagaimana, bu? Pijatannya cukup enak?”
Ibu kini memalingkan wajahnya yang agak memerah dan berkata,
“ari sudah bisa, kayaknya, yah.”
Ayah mengangguk-angguk senang, lalu menyuruhku keluar. Aku tak menunggu lama-lama segera bergegas ke kamarku untuk segera masturbasi ketika sampai di kamarku, sambil terus memikirkan punggung Ibu yang seksi, putih dan halus itu.
Keesokan harinya kembali Ayah memanggil aku untuk memijat Ibu. Ibu telah siap seperti kemarin juga, dengan daster kuning berjubel di pinggang, dan bh yang terbuka bagian belakangnya saja. Aku memulai memijati Ibu sambil berharap Ayah akan cepat keluar kamar agar aku dapat mengelus-elus Ibu seperti kemarin lagi, tetapi hari ini Ayah tetap di kamar. Aku sebal sekali. Namun setelah lima menit, kulihat Ayah mengambil koran dan mulai membaca. Wajahnya tertutup koran.
Aku memberanikan diri untuk mulai memperlemah pijatanku di badan Ibu, sambil terus melirik ke arah tempat Ayah duduk. Aku mengelusi punggung Ibu dengan perlahan, karena aku memijati Ibu sambil memperhatikan Ayah, maka aku tidak sadar bahwa saat itu selangkanganku yang masih memakai celana menyentuh pantat Ibu. Posisi tempat tidur untuk pijat itu rendah, di bawah selangkanganku, sehingga ketika aku memijat, aku harus agak merunduk. Tiba-tiba saja selangkanganku menekan pantat Ibu ketika aku terlalu konsen melihat Ayah sambil memijit Ibu.
Tak ada reaksi apapun dari Ibu, sementara aku menggerakan selangkanganku ke atas tubuh Ibu, berhubung aku memakai celana pendek tipis, maksudku aku ingin merasakan kulit Ibu telanjang dibanding hanya pakaiannya saja. Aku bergerak mengelus-elus pundak Ibu sehingga aku harus beringsut naik, kemudian aku sengaja agak mendoyongkan badanku maju sehingga selangkanganku mengenai punggung bawah Ibu bagian kanannya yang telanjang, hampir dekat pinggangnya. Aku sedikit menekan kontolku sambil tanganku kini meremas-remas pundak dan leher Ibu yang halus.
Sekitar semenit aku tempelkan selangkanganku ke pinggir punggung Ibu itu, aku tak tahan lagi. Aku mulai menggoyangkan pantatku perlahan menekan punggung Ibu dan juga menggoyang pantatku hingga seakan selangkanganku mengebor punggungnya. Nikmat sekali menggeseki punggung halus Ibu sambil mengelus-elus punggungnya. Sekitar lima menit atau kurang, aku merasakan akan orgasme, dan aku panik. Bila aku semprot di dalam celana, tentu akan ketahuan. Apakah yang harus aku lakukan?
Sambil terus melihat koran Ayah yang masih menutupi mukanya, aku menarik selangkanganku dari punggung Ibu, dengan cepat aku tarik celanaku kebawah sehingga kontolku terbebas. Entah kenapa aku begitu nekat saat itu, tapi aku kemudian menempelkan kontolku ke punggung kanan Ibu, menggesekki punggung itu dengan bantuan tangan kananku sebanyak lima kali untuk kemudian aku mulai ejakulasi, aku arahkan semburanku ke tengah punggungnya. Beberapa kali pejuku muncrat dan membasahi punggung putih dan halus Ibu sampai akhirnya spermaku habis. Aku kemudian membersihkan kepala kontolku dengan menekan kepala kontolku itu ke punggung Ibu dan menggesekkinya beberapa kali hingga tidak ada lagi sperma di kontolku. Setelah itu aku segera memakai celana lagi.
Lalu aku secepat kilat mengusapi punggung Ibuku yang penuh peju itu dengan kedua tanganku hingga lama kelamaan tidak terlihat lagi. Tiba-tiba saja bunyi koran diangkat, otomatis aku kembali memijit Ibu dengan serius. Setelah itu, aku memijit Ibu dengan serius karena Ayah sepanjang waktu memperhatikan pijatanku.
Ayah berangkat ke luar kota pagi-pagi keesokan harinya. Sementara aku masih harus sekolah. Ketika sore tiba, aku bersiap dengan memakai kaos longgar dan celana boxer saja. Baju yang santai dapat membuat burungku leluasa bergerak. Ibu kemudian mendatangi kamarku dan berkata,
“eri, kamu ke kamar Ibu lima menit lagi ya. Ibu mau siap-siap dulu.”
Aku mengangguk dengan antusias. Lalu menunggu selama lima menit yang serasa setahun di pikiranku. Kuperhatikan jam dinding dengan seksama, gerakkan jarum menitnya kurasakan amat lambat dikarenakan aku yang sudah tidak sabar. Akhirnya waktunya tiba dan aku bergegas ke kamar orangtuaku.
Ibu sudah berada di tempat tidur lipat untuk pijat itu. Ia kali ini memakai daster merah dengan bh krem yang terbuka di punggung, kuperhatikan kedua tangannya tidak terlalu rapat di sisi tubuhnya, sehingga terlihat sedikit tonjolan pinggir payudara Ibu. Aku cepat-cepat mengambil lotion lalu mulai mengelus perlahan punggung Ibu. Punggung yang halus itu kini kuelus dengan perlahan dan pelan. Terkadang aku usap dari daerah bahu ke pinggang, terkadang dengan gerakan memutar. Pada suatu saat ketika aku mengusap punggungnya dari bawah ke atas, kuberanikan diri mengusap Ibu dengan ujung jari mengarah condong ke bawah sedikit sehingga ketika melewati bagian di mana ada tali bra-nya, ujung jari-jariku mengelus pinggir tubuhnya, tepat sebelum gundukan payudara Ibu. Ibu tidak bereaksi apa-apa. Aku pikir, kemarin saja aku menggeseki punggungnya tanpa ada protes dari Ibu.
Ini membuatku menjadi berani untuk terkadang mengusap pinggir tubuh Ibu. Sementara Ibu sudah mulai menggumam lagi. Saat itu kuperhatikan rambut Ibu disangul sehingga menampakkan lehernya yang jenjang. Secara otomatis ketika tanganku bergerak ke atas, kedua tanganku mengusap belakang leher Ibu. Untuk dapat menyentuh lehernya, aku harus mendoyongkan tubuhku maju. Saat itu aku secara sadar membuat selangkanganku menempel pinggir pantat Ibu. Ibu hanya menggumam lagi.
Setelah beberapa saat aku baru mencopot celanaku dengan cepat, dan menaruh kontolku di pinggir punggung Ibu lagi. Maka kini sambil mengelusi punggung telanjang Ibu, kontolku menekan punggungnya dan mulai kugesek-gesek perlahan. Ibu hanya mengeluarkan suara desis perlahan ketika kedua tanganku mengelus-elus seluruh punggungnya yang putih dan halus itu.
Sambil terus menggesekkan burungku di bagian samping tubuh Ibu, aku kini mulai berkeinginan meraba pantat Ibu. Maka perlahan jemariku ketika mengusap punggung Ibu ke arah bawah, kususupkan di bawah daster. Aku tidak berani langsung ke pantatnya, melainkan hanya sedikit di bawah daster lalu kembali ke atas. Perlahan-lahan aku menggerakan jemariku sedikit lebih jauh manakala tanganku menyelusup ke bawah daster yang berjumbal di bagian pinggang dan pantat Ibu itu.
Makin lama jari-jemariku tidak hanya mengelus sedikit di bawah daster Ibu, melainkan bertambah sesenti demi sesenti. Entah berapa lama aku melakukannya, tetapi perlahan-lahan jari-jemariku merasakan karet celana dalam Ibu pada permulaan gundukan pantat Ibu yang kurasakan memiliki kulit halus namun otot yang cukup kenyal. Proses penyusupan ke dalam celana dalam Ibu itu berlangsung cukup lama, perlahan-lahan jari jemariku menyusup semakin jauh ke dalam celana dalam Ibu. Tidak ada penolakan dari Ibu yang membuat tubuhku yang penuh dengan nafsu dan ketegangan mulai basah oleh keringat. Tubuh Ibu juga mulai mengeluarkan keringat sehingga lama-kelamaan licin sekali punggung Ibu karena lotionnya bercampur dengan keringat dari telapakku dan dari tubuh Ibu sendiri.
Melihat tubuh Ibu yang berkeringat sehingga tampak mengkilat sementara kontolku menggeseki pinggiran tubuhnya ditambah dengan tanganku yang sedang menjamahnya, membuat aku semakin bernafsu. Kedua tanganku sekarang asyik sekali mengelus-elus pantat Ibu, tanpa kembali ke arah punggung seperti tadi. Seluruh telapak tanganku sudah masuk ke dalam celana dalamnya. Lama kelamaan kedua tanganku meremas kedua bongkah pantat Ibu yang halus namun sangat kenyal itu. Ibu mulai mendesah.
Aku mulai menekan pinggir kanan tubuhku Ibuku dengan kontolku, bila tadi hanya menggesek naik turun, kini aku menusuk pinggir tubuh Ibu. Ibu menggelinjang dan berkata sambil mengikik,
“jangan di situ…. Geli….”
Rupanya karena kontolku menusuk bagian atas pinggang kanannya, Ibu menjadi geli. Bila aku turun ke bawah, maka Ibu akan lebih geli lagi. Maka aku menggeser ke kanan, yaitu ke arah atas tubuh Ibu mendekati ketiaknya. Tahu-tahu kontolku menusuk bagian tubuh Ibu yang kenyal dan membulat. Tadinya aku tidak memperhatikan, karena aku sedang memikirkan cara yang tepat untuk menurunkan celana dalam Ibu tanpa mengagetkannya. Ketika aku melihat ke arah selangkanganku, ternyata kontolku menusukki bagian bawah pinggiran payudara kanan Ibu.
Saat itulah Ibu mulai memutar-mutar dan menekan pantatnya ke arah matras pijit. Ia mengerang lirih, tampaknya Ibu masturbasi dengan menggeseki memeknya ke matras pijat ini. Ibu tampak keenakan, sementara, aku merasa kurang bila hanya menggesek dan menusuk-nusuk tubuh Ibu dengan kontolku saja. Aku perlu yang lebih sekarang. Ingin sekali kutindih Ibu saat itu, tapi aku takut tempat tidur lipat untuk pijat ini tidak begitu kuat.
Akhirnya, aku mendapatkan ide agar dapat melihat pantat Ibu yang telanjang. Aku menghentikan gerakanku. Aku beringsut mendekat ke arah pantat Ibu. Ibu yang merasa tubuhnya tidak dielus lagi memalingkan wajah sehingga menatapku yang tak bercelana, matanya menunjukkan pertanyaan sementara pantatnya berhenti bergoyang. Aku menarik daster Ibu sedikit ke atas agar celana dalamnya yang sedang dimasuki kedua tanganku terlihat jelas dan ada ruangan cukup agar manuverku berikutnya dapat dilakukan dengan mudah.
Aku keluarkan tangan kiriku dari celana dalam Ibu, aku tarik karet celana dalam bagian pinggangnya, lalu aku selipkan kontolku di situ. Aku lalu mulai mengocok kontolku disitu. Begitu kenyal dan hangat pantat Ibu, apalagi pantat itu bergoyang-goyang juga beberapa saat kemudian. Ibu kembali mendesah kecil dan kembali menikmati aktivitas kami. Lama kelamaan kontolku agak sakit juga menggeseki celana dalam Ibu, maka aku mengambil lotion, menarik celana dalam Ibu lalu mulai melumuri pantat Ibu dengan lotion, sementara kontolku kuselipkan di pinggulnya, menunggu selesainya seluruh pantat Ibu diberikan lotion.
Setelah pantat Ibu licin, aku melumuri kontolku juga dengan lotion, lalu merubah posisiku ke bagian bawah lagi. Aku memasukkan kontolku ke dalam celana dalam Ibu dari lubang kaki celana dalamnya. Posisi ini mirip sekali dengan doggy style, dan aku penasaran rasanya. Hanya saja, ketika kontolku sudah masuk, aku hanya dapat menekan pantat kanan Ibu, sementara aku ingin merasakan belahan pantat Ibuku itu. Maka aku posisikan kontolku ke belahan pantat Ibu, tubuhku mau ga mau
Harus merangkak keatas Ibu. Tak kupedulikan lagi apakah tempat pijit itu kuat atau tidak, karena nafsuku kini sudah membabi buta.
Setelah kontolku bertengger di belahan pantat Ibu dengan sukses, aku menindih Ibu. Bibirku sejajar dengan pangkal leher Ibu berhubung aku masih sedikit lebih pendek daripadanya. Namun saat itu Ibu sedang asyik menggoyang pantatnya keras-keras dan kini tubuhnya agak melengkung ke atas dengan kepala terangkat ke belakang karena sedang menikmati ketabuan aktivitas kami dengan ditopang kedua tangannya yang membentuk siku. Aku benamkan kepalaku di rambut Ibu di samping sanggulnya sambil menyusupkan tangan ke depan sehingga memegang kedua payudaranya.
Ibu tiba-tiba saja mengerang lalu secara membabi buta menggoyang pantatnya. Dari mulutnya terdengar geraman demi geraman,
“heehh…..heeeehhh……heeeeehhhh…..”
Aku meremas payudara Ibu yang mancung itu dan Ibu semakin keras mengerang dan menggoyang pantatnya, membuat kontolku bergoyang mengikuti iramanya. Aku juga menekan kontolku di belahan pantat Ibu kuat-kuat. Tak lama Ibu mengejang-ngejang sambil menundukkan kepalanya. Aku yang sudah mau sampai juga melihat leher jenjangnya yang penuh keringat tampak begitu seksi sehingga aku menyedot leher belakang Ibu kuat-kuat dengan memiringkan kepalaku saat kontolku menyemprotkan pejunya ke dalam celana dalam Ibu.
Aku menindih Ibu selama beberapa menit sebelum Ibu minta aku turun dari badannya. Ia mengucapkan terimakasih kepadaku dan memasuki kamar mandi. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, sehingga akhirnya saat itu aku masuk kamar dan tertidur karena kecapekan.
Ibuku membangunkanku saat waktunya makan malam. Ketika aku membuka mata, Ibu memakai handuk saja, rambutnya basah karena baru saja mandi. Ibu duduk di sampingku ketika membangunkan aku. Aku beringsut duduk dan mendapati bahwa Ibu duduk sangat dekat denganku sampai aku mampu mencium wangi sabun dari tubuhnya. Bagian atas payudara Ibu begitu sekal terlihat, dan aku teringat rasanya memegang payudara itu. Serta merta, walaupun mengantuk karena baru bangun, kontolku sadar secara penuh.
Aku memegang pundak Ibu yang telanjang. Tubuh Ibu menggigil sebentar namun ia diam saja. Aku mulai mengelus-elus pundaknya.
“ngapain?” tanya Ibu.
“mijit….. Kan Ibu harus dipijat….”
“sekali sehari kan sudah cukup menurut dokter,” kata Ibu.
“tapi kalo lebih dari sekali bukannya tambah bagus?”
“emang kamu maunya berapa kali?”
“berkali-kali. Demi kesehatan Ibu, eri bersedia.”
“emang kamu kuat berkali-kali?”
“kuatlah…”
Lalu Ibu tidak berbicara lagi. Aku terus mengelusi pundaknya. Pundak halus yang agak lembab dan wangi sabun yang merebak.
“kalau mau pijet di kamar Ibu donk, pakai tempat tidur lipat untuk pijat.”
“tanggung ah….. Ibu tiduran di sini aja, biar eri mulai pijat.”
Ibu merebahkan diri telungkup masih dengan handuk yang dililit di depannya. Perlahan dengan tangan gemetar aku tari ke atas handuk itu. Ibu mengangkat tubuhnya sebentar lalu aku dengan cepat menariknya sehingga kini Ibu telanjang bulat di depanku walau masih dalam posisi telungkup.
“taruh di pantat Ibu aja handuknya. Jangan dilempar.” kata Ibu ketika aku melemparkan handuk ke tempat duduk disamping tempat tidurku. Di sana ada handukku yang lebih kecil. Maka aku beringsut lalu mengambil handukku itu lalu menaruh di pantat Ibu. Handuk itu hanya cukup menutup pinggang sampai setengah paha saja.
Aku membuka baju sampai telanjang.
“kok telanjang?” tanya Ibu.
“biar ga keringatan kayak tadi sore.”
Aku mulai mengelus-elus punggung Ibu yang halus itu. Sungguh punggung Ibu begitu sempurna di mataku, kehalusan kulit dan kekenyalan ototnya di tambah dengan warna kulit yang begitu putih adalah pemandangan terindah bagiku.
“lotionnya mana?” tanya Ibu.
“di kamar Ibu lah….”
“ga diambil dulu?”
“ga apa-apa ga pakai lotion kan? Nanti badan Ibu bau lotion.”
“emang kenapa kalau bau lotion?”
“kan baru mandi….”
Tanganku mengelus punggung Ibu yang tidak tertutup handuk selama beberapa menit, sebelum akhirnya aku mulai menarik handuk itu. sehingga akhirnya handuk kecil itu tak lagi menutup tubuh Ibu. Ibu kini telanjang bulat didepanku, walaupun tubuhnya masih telungkup. Tidak ada protest lagi dari mulut ibu.
Aku sudah tak sabar lagi, sehingga kini aku berlutut dengan kedua kaki di samping pantat Ibu, sehingga kontolku kini menggantung di atas pantat Ibu, sementara aku mulai mengelus-elus seluruh punggung Ibu, sementara mataku jelalatan melihat belahan pantatnya, selain itu, lipatan bibir memek Ibu terlihat menyembul sedikit di sela-sela antara paha dan pantatnya. Nafsuku begitu menggelora sehingga kupingku rasanya ditulikan oleh suara dentuman jantungku yang berdebar keras saat pertama kali melihat sebagian kemaluan Ibuku sendiri.
“pegel nih, bu,” kataku setelah beberapa menit lewat lagi,”kalau eri duduk di paha Ibu, Ibu keberatan ga ya?”
“duduk aja…”
Dengan hati-hati aku menaruh pantatku di kedua paha sebelah atas Ibu sehingga kontolku yang tegak itu seakan menunjuk langsung ke hadapan kemaluan Ibuku itu, walaupun belum bersentuhan. Namun, posisi kontolku mungkin tinggal beberapa senti saja dari memek Ibu. Begitu dekatnya kemaluanku dengan kemaluan Ibu, sehingga aku dapat merasakan hangatnya udara di sekitar selangkangan Ibuku.
Aku melanjutkan mengelus punggung Ibu. Namun, karena posisiku, tanganku hanya mengelus punggung Ibu saja, paling jauh sampai di antara belikatnya. Aku memutar otak untuk menentukan apakah yang harus aku lakukan selanjutnya ketika Ibu berkata pelan,
“bahunya kok ga dipijit?”
Pucuk dicinta ulam tiba. Ini adalah momen yang kutunggu-tunggu. Dengan perlahan aku memajukan tubuh ke depan, tangan terjulur untuk meraih pundak Ibu, namun yang terutama aku gerakan adalah pantatku yang perlahan kugerakkan ke depan sehingga perlahan kontolku mendekati lipatan bibir vagina Ibuku.
Ketika tanganku meraih pundaknya, kontolku menyentuh bibir memeknya. Ibu mengeluarkan suara tertahan, dan tubuhnya tiba-tiba terdiam kaku. Aku tak tahu Ibu sedang berpikiran apa, namun aku takut Ibu marah padaku, karena ia terdiam saja. Maka aku menggerakan pantatku kebelakang berbarengan dengan tanganku yang aku mengelus punggung Ibu ke arah bawah hingga mencapai pinggangnya. Aku yang penasaran terus menarik tanganku hingga kini mengelus turun ke kedua bongkah pantatnya yang begitu bulat dan kenyal.
Ibu mendesis perlahan, yang membuatku berfikir bahwa Ibu menikmati sentuhan erotisku. Tubuhnya kini sudah tidak kaku seperti tadi. Ibu menjadi rileks, sehingga ketika tanganku naik ke atas lagi, aku uji nyali dengan memajukan lagi pantatku. Aku sudah mengantisipasi benturan pelan antara kedua kelamin kami, sehingga aku dapat menahan nafsu ketika ujung pelirku menyentuh bibir memek Ibu yang rapat, membuat bibir memek itu bergoyang pelan karena dorongan kontolku.
Kurasakan tubuh Ibu menggigil perlahan, mungkin karena efek sentuhan kemaluan kami. Ketika tanganku kutarik ke bawah, aku tidak menarik pantatku sehingga kedua alat kelamin kami tetap bersentuhan pelan. Saat kedua tanganku memegang tepat di bongkahan pantat Ibu, aku menekan pantat itu dan aku mulai menggesekkan kontolku ke bawah sepanjang bibir memek Ibu. Gerakanku tanpa menambah tenaga sehingga bibir memek Ibu tetap merapat.
“jangan dimasukkin…..” bisik Ibu.
Sambil tertus menjadikan pantat Ibu tumpuan kedua tanganku, aku mengangkat pantatku sehingga kontolku kembali naik ke atas sepanjang lipatan bibir memek Ibu. Selama beberapa menit, kontolku bergerak naik turun di sepanjang lipatan bibir vagina Ibu yang makin lama makin melembab. Tiba-tiba saja bau tubuh Ibu tercium oleh hidungku. Bau badan Ibu itu menguar perlahan-lahan menjadi makin jelas, bagaikan ada orang yang menaikkan volume radio perlahan-lahan sampai suaranya keras, demikian pula dengan memek Ibu. Makin lama kontolku menggeseki bibir memeknya, maka memek Ibu mengeluarkan cairan kewanitaannya untuk melumasi pintu surgawi milik Ibu itu.
Ketika aku merasakan ujung kepala kontolku basah karena berlumuran air kenikmatan Ibu, aku mulai menekan pantatku ke depan karena aku sudah gemas dengan kehangatan selangkangan Ibu. Alhasil, bibir vagina Ibu merekah, menyebabkan kontolku masuk ke memek Ibu walaupun tidak menerobos lubang vaginanya. Melainkan, kontolku menggerus bagian dalam memek Ibu, area di mana dinding labium minoranya berada, dari arah lubang sehingga sampai ke klitoris Ibu.
Ibu berteriak kecil, namun suaranya tertutup oleh bantal, karena Ibu membenamkan wajahnya ketika ia merasakan kepala kontolku menyentuh klitorisnya. Aku semakin giat menggesekkan batang kontolku di dinding memek Ibu dalam lipatan labium mayora Ibu. Walaupun belum bisa dibilang menyetubuhi Ibu, namun kontolku telah dapat digesekkan pada dinding otot bagian dalam tempat labium minora Ibu berada.
Tangan Ibu meremas-remas sprei dan pantatnya bergoyang mengikuti goyanganku, tubuh Ibu mulai berkeringat seperti halnya tubuhku juga. Nikmat sekali dinding luar vagina Ibuku. Begitu hangat dan licin. Tetapi aku merasa kurang, dalam posisi ini, di mana aku memegang pantat Ibu sementara kelamin kami bergesekkan. Aku merasa ini kurang intim. Aku ingin lebih intim lagi.
Maka aku tindih punggung Ibu yang basah itu. Kedua tanganku dengan cepat menyusup ke bawah, Ibu menjawab dengan mengangkat badannya sehingga bagian atas bertumpu di kedua tangannya, membebaskan kedua toket seksinya yang tadi terbenam di tempat tidur. Gerakan Ibu membuat kedua tanganku secara cepat menemukan targetnya, yaitu menggenggam payudara Ibu. Aku menciumi pundak Ibu sambil menggesek-gesek kontolku lebih keras di sekitar dinding labium minora milik Ibu, klitoris Ibu selalu tergesek kala aku menusuk ke bawah.
Bibirku mulai mengecup-ngecup pundak Ibu sambil terkadang mengenyotnya perlahan. Ibu kini mengerang-ngerang walau volume suaranya kecil. Lama kelamaan aku mengenyot-ngenyot dan menghisap-hisap pundak Ibu. Tubuh kami kini sudah basah kuyup oleh keringat. Ibu mengibaskan rambutnya ke kiri dan menolehkan kepala sedikit miring ke kiri, sehingga leher kanannya terbuka. Lalu perlahan aku mulai menyerang leher Ibu. Ibu menggelinjang ketika lidahku menyapu-nyapu di leher kanan sambil sedikit mengerang keras,
“ooooohhhhh…… Gelliiiiii……..”
Aku hisap kuat-kuat leher Ibu. Ibu menggoyangkan pantatnya makin keras, sementara aku kini mulai mencolok-colokkan kontolku ke depan dan belakang, tidak seperti tadi yang mendorong ke bawah dan ke atas. Pada suatu kesempatan kepala kontolku menekan lingkar lubang vagina Ibu dan ketika aku tusuk kepala kontolku itu menancap sedikit dan pada saat itu aku menekan pantat ke depan sehingga kepala kontolku masuk lebih jauh lagi, sekitar sepertiganya ke dalam lubang vagina Ibu yang sudah super licin.
“ya robbiiii!!!!” teriak Ibu. Tubuhnya mengejang-ngejang bagaikan kesurupan.
Aku kaget merasakan kontolku menerobos lubang kencing Ibu walau cuma sedikit. Sementara tubuh Ibu, lebih tepatnya pantat Ibu bergoyang begitu liar. Aku tarik sedikit pantatku sehingga kontolku tertarik keluar dengan ujung masih di tepi lubang untuk siap-siap menghujam agar bisa ngentotin Ibu. Namun Ibu tiba-tiba membalikkan badan sehingga kami berhadapan, merangkulku erat dan kemudian menjatuhkan aku ke tempat tidur. Memeknya menekan kontolku yang kini melintang rata tergencet antara bibir memek Ibu dan perutku sendiri.
Ibu sedikit menunduk dan bibirnya menyedot bibirku. Kami berkecupan dengan penuh nafsu. Sementara Ibu menggoyangkan pantatnya dengan gerakan memutar, dengan klitoris sebagai pusat tekan, menekan kontolku. Kedua tangan Ibu memegang wajahku keras-keras, sementara kedua tanganku memegang dua bongkah pantat Ibu yang kini begitu liar menggoyang dan menggesek kontolku.
Sambil meremas pantat Ibu keras-keras, aku mulai mengeluarkan lidah dan menjilati mulut Ibu yang asyik menciumiku. Ibu tampaknya mengerti keinginanku dan ia mengimbangi lidahku yang nakal itu. Suara kecupan kami terdengar berkali-kali. Penuh dengan suatu impuls penuh birahi bibir kami berperang saling menukarkan ludah ke mulut satu sama lain.
Lalu tiba-tiba Ibu menekan pantatnya keras-keras. Memeknya mengeluarkan cairan lebih banyak lagi, dan tubuh Ibu sedikit mengejan. Mulutnya membuka dan berteriak,
“eriiiii……. Ibu puaasssss……..”
Di pihak lain, orgasmeku juga sebentar lagi akan datang, sementara memek Ibu menekan tanpa menggoyang, membuat penisku belum berhasil ejakulasi. Dengan sekuat tenaga, aku memeluk Ibu lalu memutar tubuh kami hingga kini aku menindih tubuh Ibu yang telanjang. Aku beringsut ingin mengangkat pantatku agar aku bisa memasukkan kontolku ke dalam dinding dekat labium minoranya sukur-sukur masuk lubang kenikmatan Ibu, namun saat itu kedua kaki Ibu menjepit pantatku dan pelukannya begitu keras, begitu susah aku menggerakkan selangkanganku.
Dengan susah pAyah aku menggoyangkan pantatku sehingga kontolku menekan-nekan bibir memek Ibu. Beberapa saat Ibu mengendurkan pelukannya, namun aku yang mau sampai tetap memeluk tubuh Ibu dengan kuat, dan pantatku begitu cepat dan keras naik turun sehingga kontolku menggeseki bibir memek Ibu dengan keras. Aku berusaha mengarahkan kontolku dengan pantatku agar ujung kontolnya menancap lagi di liang vagina Ibu, selama hampir dua menit kontolku beraksi hingga akhirnya, kepala kontolku nancap lagi di liang vagina Ibu dan aku segera menambah kuat daya tekan pantatku.